Ansy Lema Tolak Komersialisasi Secara Brutal di Pulau Komodo dan Padar

- Redaksi

Minggu, 17 Juli 2022 - 05:45 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

Dibaca 0 kali
facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta, Salamtimor.com – Anggota DPR RI Yohanis Fransiskus Lema, S.IP, M.Si menolak praktik komersialisasi secara brutal di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.

“Pada prinsipnya saya menyetujui pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) yang dilakukan oleh para ahli. Namun, mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi secara brutal? Ini kritik keras saya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI yang kerap disapa Ansy Lema di Jakarta, Sabtu (16/7/2022).

Ansy menambahkan hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) adalah merekomendasikan pembatasan, tetapi mengapa di saat bersamaan KLHK memberikan ijin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri,” gugatnya.

Ansy menerangkan, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.

“Dana hasil penjualan tiket juga harus dikembalikan dan dimanfaatkan untuk pengelolaan wilayah konservasi demi keberlangsungan margasatwa di Pulau Komodo,” tandasnya.

Demikian pula, tambah Ansy, pengenaan tarif terkait wildlife and nature tourism mestinya merujuk atau memiliki referensi terkait biaya tiket yang diberlakukan di wilayah/negara lain sebagai parameter untuk wisata sejenis.

Kejanggalan Kebijakan

Ansy menjelaskan, ada dua kejanggalan utama yang menjadi catatan penting.

Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo.

Di sini, paket wisata EVE dikelola oleh PT. Flobamor selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Biaya paket wisata EVE adalah Rp 15 juta per paket yang usulan alokasinya adalah (1) Rp 2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab; (3) Rp 100.000 biaya asuransi; (4) Rp 7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) PT Flobamor; (6) Rp 165.000 biaya pajak.

“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan PT. Flobamor. Tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Pulau Komodo dan Padar? Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur. Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” tegas Ansy.

Apalagi, melihat komposisinya, jumlah uang yang masuk ke PAD sangat kecil, dibanding upah yang masuk ke PT Flobamor.

Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif. Menurut Ansy, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata.

“Di mana letak keadilan sosialnya? Seharusnya uang konservasi diambil pemerintah dari perusahaan yang melakukan perusakan alam, seperti perusahaan sawit, perusahaan batubara, korporasi tambang, dan sebagainya. Tarik pajak lebih banyak dari mereka dan kemudian disubsidi silang untuk biaya konservasi, bukan dari masyarakat Indonesia yang mau berwisata,” pungkas politisi PDI Perjuangan ini.

Marginalisasi Masyarakat Kecil

Persoalan lain yang timbul dari kejanggalan kebijakan yang diambil pemerintah di atas adalah marginalisasi atau peminggiran masyarakat kecil.

Dengan kenaikan tarif Taman Nasional Komodo (TNK) yang mencapai Rp 3,75 juta per orang dan paket EVE senilai Rp 15 juta, secara tidak langsung pemerintah membatasi masyarakat kecil untuk berkunjung ke Pulau Komodo dan Padar.

“Pemerintah harus memikirkan multiplier effect dari kebijakan ini. Yang bisa pergi ke Pulau Komodo dan Padar hanya orang kaya saja. Ditambah, kebijakan ini memotong peluang ekonomi masyarakat sekitar, terutama para pelaku wisata lokal. Paket EVE, misalnya. Penerapan EVE akan memenggal ekonomi operator tur yang hidup di Labuan Bajo,” terang Ansy.

Apabila hendak melakukan pembatasan pengunjung dan menjaga konservasi, cara yang dilakukan tidak bisa dari sisi kenaikan harga.

Pemerintah bisa melakukan pembatasan dengan pengaturan lalu lintas kunjungan secara terjadwal.

Karena itu, Ansy mendesak KLHK untuk dapat melihat kebijakan terhadap Pulau Komodo dan Padar secara komprehensif.

“KLHK harus membuat kebijakan dengan dasar dan pertimbangan ilmiah yang jelas. KLHK adalah penjaga konservasi. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan tertentu yang menunggangi konservasi, padahal maksud tersembunyinya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis fantastis. Bicara konservasi koq ujungnya komersialisasi melalui monopoli bisnis?” tutup Ansy.***

Berita Terkait

IDRIP NTT Gelar Rakor Triwulan I Tahun 2024 Tingkat Provinsi
Evaluasi Pelaksanaan Program, IDRIP Provinsi NTT Gelar Rakor Triwulan IV
Pj. Gubernur NTT Bersama 3 Bupati dari NTT Raih Penghargaan IGA 2023
Dibangun Sejak Tahun 2020 Dengan Anggaran Rp. 173 Miliar, SPAM Kali Dendeng Kupang Diresmikan Presiden Jokowi
Diresmikan Presiden Jokowi, RS dr. Ben Mboi Kupang Miliki Fasilitas Canggih dan Cukup Lengkap
IDRIP Wilayah II NTT Bangun Ketangguhan Masyarakat Melalui Program DESTANA di Manggarai Barat dan Alor
Kemenkes Terapkan Inovasi Wolbachia Atasi Penyakit Demam Berdarah
Diprediksi Bertahan Hingga Februari 2024, BMKG Ungkap Dampak El Nino

Berita Terkait

Sabtu, 3 Februari 2024 - 22:58 WITA

Syukuran Tahunan, IPPAT dan INI Berbagi Kasih Kepada Anak-Anak Stunting di Desa Kesetnana

Selasa, 19 Desember 2023 - 11:12 WITA

Lantik 12 Pejabat Eselon II, Bupati TTS: Kita Harus Pertahankan Opini WTP

Sabtu, 9 Desember 2023 - 12:54 WITA

Tanggap Terhadap Wilayah Terdampak Kekeringan, BPBD TTS Salurkan Air Bersih

Kamis, 7 Desember 2023 - 09:21 WITA

Pemkab TTS Raih Predikat B Akuntabilitas Kinerja Tahun 2023 Setelah Sepuluh Tahun Memperoleh Nilai CC

Selasa, 5 Desember 2023 - 23:52 WITA

Kepsek SMPN Nefotes: YASPENSI Beri Warna Tersendiri Dalam Pendampingan Literasi

Selasa, 5 Desember 2023 - 16:53 WITA

Hadiri Hari Bhakti PU, Bupati TTS Tegaskan ASN Harus Netral Pada Pemilu 2024

Sabtu, 2 Desember 2023 - 23:34 WITA

Upah Masyarakat Pekerja Jalan Rabat Belum Dibayarkan, Ini Penjelasan Kepala Desa Hoi

Rabu, 29 November 2023 - 17:29 WITA

Gigitan HPR di Kabupaten TTS Capai 2.132 Kasus, 11 Orang Meninggal Dunia

Berita Terbaru