Draf RUU Cipta Kerja yang Berubah-ubah

Massa dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di jalan Medan Merdeka Barat tepatnya depan Gedung Sapta Pesona mengarah ke Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (12/10/2020). Mereka menuntut pengesahan UU Cipta Kerja itu yang tidak mengakomodir usulan dari mitra perusahaan, Undang-undang Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan sangat mendegradasi hak-hak dasar buruh serta mendesak soal kontrak kerja tanpa batas, outsourcing diperluas tanpa batas jenis usaha, upah dan pengupahan diturunkan dan besaran pesangon diturunkan.

JAKARTA, SALAMTIMOR.COM – Draf RUU Cipta Kerja yang beredar di publik terus berubah-ubah. Setidaknya, hingga Selasa (13/10/2020), ada empat draf berbeda.

Di situs DPR (dpr.go.id), diunggah draf RUU Cipta Kerja dengan jumlah 1028 halaman. Kemudian, di hari pengesahan RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, unsur pimpinan Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi dan Willy Aditya memberikan draf setebal 905 halaman.

Namun, belakangan dikatakan bahwa draf tersebut masih harus diperbaiki. Achmad Baidowi  menjamin tidak ada perubahan substansi. Dia mengatakan perbaikan hanya sebatas pada kesalahan ketik atau pengulangan kata.

“Kami sudah sampaikan, kami minta waktu bahwa Baleg dikasih kesempatan untuk me-review lagi, takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah karena sudah keputusan,” ujar Awi saat dihubungi, Kamis (8/10/2020).

Pada Senin (12/10/2020) pagi, beredar draf RUU dengan jumlah 1035 halaman. Di halaman terakhir draf tersebut ada tanda tangan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menyatakan draf tersebut hasil perbaikan Baleg DPR pada Minggu (11/10/2020) malam. Menurutnya, ada perbaikan redaksional dalam draf RUU Cipta Kerja. Namun, pada malam harinya, kembali beredar draf RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman.

Indra menyatakan draf berjumlah 812 halaman itu merupakan hasil perbaikan terkini. Dokumen berjumlah 1035 halaman itu menyusut menjadi 812 halaman setelah diubah dengan pengaturan kertas legal.

“Itu kan pakai format legal. Kan tadi (yang 1035 halaman) pakai format A4, sekarang pakai format legal jadi 812 halaman,” ujar Indra. Ia menyebut draf belum dikirim ke presiden. Menurutnya, DPR memiliki waktu setidaknya hingga Rabu (14/10/2020) untuk mengirimkan draf ke presiden jika merujuk kepada UU Nomor 12/2011.

Cacat prosedur

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) khawatir akan ada pasal-pasal tambahan dalam perbaikan draf RUU Cipta Kerja. Sebab, segala proses yang dilakukan DPR serba tertutup.

“Kuatnya kepentingan elite atas RUU ini bisa menjelaskan kecurigaan akan potensi merubah substansi RUU Cipta Kerja dengan berkilah bahwa yang dilakukan hanya perbaikan typo,” kata peneliti Formappi Lucius Karus, Senin (12/10/2020).

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengaku curiga draf final RUU Cipta Kerja sengaja disembunyikan DPR dan pemerintah.

Ia mengatakan, sejak awal proses pembentukan RUU Cipta Kerja sudah cacat prosedur. Sebab, DPR dan pemerintah dinilai menabrak ketentuan peraturan pembentukan perundangan-undangan, salah satunya soal pelibatan publik.

“Memang dari awal kan tidak sehat. Seharusnya, sejak awal naskah akademik itu termasuk draf RUU. Dari perancangan hingga pengesahan sudah ada draf itu. Bayangkan, dari hulu hingga hilir tapu tidak ada RUU-nya,” tuturnya.

“Ini mungkin proses pembentukan perundang-undangan paling gila di era reformasi dan betul-betul terbuka pelanggarannya dan diabaikan pula,” kata Feri.

Feri menegaskan bahwa Pusako mendorong agar pemerintah segera membatalkan UU Cipta Kerja. Menurut dia, presiden dapat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut UU Cipta Kerja.

“Memang ini cacat prosedurnya. Bukan berarti begitu buka draf lalu selesai. Kami menganggap seluruhnya cacat dan desakannya adalah segera cabut UU ini. Karena yang bermasalah adalah pembuat UU, yaitu presiden dan DPR. Yang paling mudah bisa lewat perppu,” tuturnya.

Sumber: *(KOMPAS.COM)

Pos terkait