Oleh: Pdt. Vinny Tanaem-Bria, S.Th
(Sebuah Refleksi Ditengah Pandemi COVID-19)
Beberapa hari terakhir, sempat terguncang karena dengar kabar beberap rekan sepelayanan dan orang-orang yang saya kenal, telah terpapar COVID-19. Saya dan suami menahan diri untuk tidak keluar rumah selama beberapa waktu karena drop.
Suara sirine mobil jenazah seolah penentu kontrol psikis kami. Namun, kami kemudian merasa tertolong dengan beberapa orang yang secara terbuka sharing tentang bagaimana kondisi mereka sebelum dan sesudah terpapar.
Ada yang terkejut, menyangka aman, padahal sudah terpapar. Ada yang terpaksa dirawat inap, ada yang isolasi mandiri di rumah. Ada yang sangat kuatir dengan orang tua yang rentan, ada pula yang tak henti mendukung kerabatnya dari jauh dengan cinta dan doa. Ada yang menangis histeris karena tak siap ketika orang terkasihnya keburu meninggal. Tetapi mulai bangkit dan mencoba bertahan beberapa hari setelahnya.
Melihat optimisnya mereka untuk sembuh, sungguh itu menguatkan kami. Tentu tak gampang mengungkapkan hal ini, karena komunitas kita belum sepenuhnya siap menyambutnya sebagai sesuatu yang pantas dibagi.
Terlepas dari memiliki penyakit penyerta atau tidak, kesiapan mental menentukan persentase kesembuhan. Dan aura positif lingkungan di sekitarnya akan mempercepat pemulihan.
Dalam Novel Wijaya Kusuma, Mama Maria Matildis Banda bilang, “Sakit di tengah pelukan yang bersih dan segar adalah jalan pertama menuju kesembuhan.” Lingkungan yang “pikirannya bersih” akan ikut menyembuhkan penghuninya. Kepala yg sakit luar biasa seketika mereda segera setelah dicium suami atau anak, pernahkah anda mengalaminya?
Rumah Sakit tidak hanya jadi tempat yang dituju ketika sakit. Rumah Sakit juga dihuni oleh orang-orang sehat yang intens “menyentuh” penyakit tapi “diminta” untuk tidak boleh sakit.
Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan kesiapan pemerintah yang dinilai lambat, menyebabkan rumah-rumah sakit collapse.
Kita bisa membayangkan betapa sulitnya para dokter, perawat atau tenaga kesehatan mengontrol diri. Kondisi psikis para tenaga kesehatan drop sejalan dengan laju angka positif COVID-19 yang melonjak, fisik mereka dipaksa melebihi kapasitas karena minim fasilitas.
Singkat kata, KITA SEMUA sedang sakit.
Tidak ada satupun diantara kita yang ada dalam kondisi aman. Artinya, KITA SEMUA butuh treatment untuk pulih bersama-sama.
Apa maksudnya ini ditulis? Berhentilah menghakimi. Beberapa kiriman video dan narasi berita akan membuat jari-jari tangan tak tahan untuk merespon, tapi percayalah, sepanjang itu hanya untuk sekedar menghakimi tanpa kesadaran untuk membenahi diri sendiri dan lingkungan terdekat kita, maka kita hanya akan saling memperparah penyakit.
Kini, apapun bentuk pernyataan kita di media sosial, haruslah berupa “solusi”. Sekiranya itu menjadi OBAT pereda “sakit”, atau vitamin yang paling dicari dan layak dikonsumsi, atau “alarm” untuk lekas pulih.
Atas nama cinta, dari kami sekeluarga di pastori jemaat GMIT Elim Oefatu. (Yess, Vinny, Dizma).