OLEH: YULIUS CELVIN NENO METAN
Filsafat tradisional atau filsafat perennial hadir sebagai bentuk kritik atas modernism dan postmodernisme. Filsafat perennial mencoba mengingatkan kembali manusia-manusia modern yang sudah terlampau materialis. Modernism dengan segala bentuk kemajuannya terutama dalam sains dan teknologi, telah membawa pada rusaknya keseimbangan tatanan ciptaan karena telah memisahkan manusia dengan alam.
Modernism, yang sering dianggap sebagai puncak keberhasilan karya manusia, justru membawa dampak yang lebih serius, yaitu krisis lingkungan. Ciri kemodernan adalah adanya sikap dominasi atau penguasaan manusia terhadap alam. Hal ini dapat terlihat dari bentuk ekploitasi alam secara besar-besaran yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Manusia modern telah menjadikan alam sebagai objek yang harus dikuasai. Hal ini diakibatkan oleh keyakinan bahwa manusia dianggap sebagai entitas terpisah dari alam. Kemodernan telah membuat manusia angkuh dengan kemampuannya sehingga membuatnya lebih menekankan pada individualitas yang absolut.
Menurut Emanuel Wora (2006), paradigma modern ini dimulai sejak Rene Descaartes ketika memperkenalkan konsepnya yang terkenal hingga hari ini yaitu “cogito ergo sum”. Melalui teorinya, Descartes meyakinkan manusia tentang independensi pikiran. Pikiran berada di atas materi. Konsep Desartes ini lebih jauhnya telah menimbulkan terjadinya dikotomi antara manusia dan alam. Pemikiran rasionalitas Descartes ini kemudian berkembang lebih radikal dan disambut oleh para saintis setelahnya dengan membangun filsafat dan sains sekuler.
Sains modern tidak lagi menganggap kesakralan alam. Alam dianggap menjadi objek profan yang tak lain adalah objek yang harus dikuasai. Barangkali inilah penyebab utama yang nantinya akan membawa manusia modern kedalam dunia kehampaan yang kering akan prinsipprinsip spiritualitas. Dan memang perkembangan filsafat modern yang materialis telah membawa pada hilangnya realitas transenden, yang sejatinya dalam kacamata filsafat perennial adalah inti dari segala sesuatu.[1]
Melalui tanggapan atas pemikiran dari Rene Descaartes, manusia pada era modern ini mulai mengesampingkan kelestarian alam yang ada dimuka bumi ini. Manusia dengan caranya telah merusak keseimbangan ekosistem yang terjadi dimuka bumi. Atas apa yang telah diperbuat oleh manusia ini, banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Begitu banyak kerusakan yang berhujung pada bencana dimuka bumi ini, entah secara alami maupun buatan manusia sendiri.
Manusia melihat dari segi ekonomi bahwa apa yang disediakan oleh alam dapat memberikan dampak positif bagi kehidupannya. Namun, apakah manusia berpikir dampak dari apa yang mereka perbuat demi kehidupannya?. Materialistis nampaknya telah menutup kesadaran manusia akan apa yang telah mereka perbuat dan apa yang telah terjadi didepan mereka.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia sudah pada taraf yang sangat menghawatirkan. Manusia tidak lagi segan–segan untuk mengekploitasi alam dan isinya secara besar – besaran, untuk kepentingan dan hidup manusia. Terutama apa yang telah dilakukan oleh manusia demi kepentingan ekonomi di zaman kapitalisme ini. Sebab, menurut evolusi C. Darwin ilmu mempunyai akar dari pengetahuan ekonomi. Orientasi hidup manusia telah dipacu dan dikejar untuk menumpuk – numpuk harta yang banyak.[2]
Manusia yang sebagai pemilik akal budi dapat melakukan berbagai cara sesuka keinginan tanpa harus mempertimbangkan dapak dari apa yang telah dilakukan. Dengan cara yang telah dilakukan, manusia mengubah alam menjadi tempat untuk mencurahkan segala bentuk “refresingnya”. Membuang sampah dengan sembarangan telah menjadi bentuk refresing baru bagi manusia di era saat ini.
Entah sudah berapa banyak kerusakan alam yang terjadi akibat dari ulah manusia. Sampah yang terbuang dengan sesuka hati tanpa melihat tempat yang objektif, hutan – hutan yang menjadi gundul demi kebutuhan manusia, dan asap yang ditimbulkan dari pabrik atau kendaraan telah merubah kemurnian dari oksigen yang disediakan oleh alam, merupakan bentuk dari kecacatan alam yang tak disadari oleh manusia dan menjadi contoh bagaimana manusia tengah menghancurkan dunia. Dengan kata lain, manusia telah membunuh manusia dengan cara yang diciptakannya sendiri.
Akibat pola perilaku manusia yang serakah dan hanya mementingkan diri sendiri, tanpa menghiraukan daya dukung sumberdaaya alam, telah terjadi pula berbagai macam konflik kepentingan. Jelas bahwa persoalan sumberdaya alam memiliki berbagai macam dimensi yang berkaitan erat dengan ekonomi, budaya, politik, dan keamanan.
Dengan demikian, dampak yang terjadi terhadap pelestarian sumberdaya alam seringkali menimbulkan terjadinnya konflik kepentingan. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak diiringi dengan pola pikir akan kelestariannya justru menimbulkan berbagai macam problem yang tak akan ada habisnya dimuka bumi ini.
Dengan perbuatan manusia yang demikian, sesungguhnya manusia telah menciptakan kepunahan bagi tanah airnya sendiri. Bencana yang timbul dari kekurang sadaran manusia dalam melihat kehidupan dimuka bumi ini. Bencana yang sesungguhnya sangat merugikan bagi manusia, terutama dalam bentuk materi yang menjadi hal penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Namun, inilah bentuk dari kekurangan manusia dalam mengolah lingkuan tempat dimana mereka meberlangsungkan kehidupan. Dengan menganggap bahwa manusia dapat melakukan segala sesuatu, manusia menjadi terlena dengan pikirannya sendiri dan membahayakan dirinya sendiri.
Dengan kesadaran yang kurang dari manusia, akan sulit terjadi keseimbangan dalam ekosistem. Bila hal ini tidak mendapat perhatian dengan baik, maka manusia adalah sampah bagi bumi, dimana manusia yang seharusnya menjadi pion dalam menjaga kelestarian alam, justru menghancurkan alam.
Manusia membutuhkan alam dan alam pun membutuhkan manusia keduannya harus saling menjaga keseimbangan diantarannya agar kehidupan dimuka bumi ini tidaklah punah dan tetap lestari selalu.
[1] https://id. Doi.org/10.15575/jpiu.12199, diakses pada jum’at 20 juni 2021. Pukul 16.00 WITA
[2] Otto Soemarmoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003), hal 51-51
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang