MANUSIA MENJADI SAMPAH

- Redaksi

Rabu, 30 Juni 2021 - 02:45 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

Dibaca 1 kali
facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

OLEH: YULIUS CELVIN NENO METAN

Filsafat tradisional atau filsafat perennial hadir sebagai bentuk kritik atas modernism dan postmodernisme. Filsafat perennial mencoba mengingatkan kembali manusia-manusia modern yang sudah terlampau materialis. Modernism dengan segala bentuk kemajuannya terutama dalam sains dan teknologi, telah membawa pada rusaknya keseimbangan tatanan ciptaan karena telah memisahkan manusia dengan alam.

Modernism, yang sering dianggap sebagai puncak keberhasilan karya manusia, justru membawa dampak yang lebih serius, yaitu krisis lingkungan. Ciri kemodernan adalah adanya sikap dominasi atau penguasaan manusia terhadap alam. Hal ini dapat terlihat dari bentuk ekploitasi alam secara besar-besaran yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Manusia modern telah menjadikan alam sebagai objek yang harus dikuasai. Hal ini diakibatkan oleh keyakinan bahwa manusia dianggap sebagai entitas terpisah dari alam. Kemodernan telah membuat manusia angkuh dengan kemampuannya sehingga membuatnya lebih menekankan pada individualitas yang absolut.

Menurut Emanuel Wora (2006), paradigma modern ini dimulai sejak Rene Descaartes ketika memperkenalkan konsepnya yang terkenal hingga hari ini yaitu “cogito ergo sum”. Melalui teorinya, Descartes meyakinkan manusia tentang independensi pikiran. Pikiran berada di atas materi. Konsep Desartes ini lebih jauhnya telah menimbulkan terjadinya dikotomi antara manusia dan alam. Pemikiran rasionalitas Descartes ini kemudian berkembang lebih radikal dan disambut oleh para saintis setelahnya dengan membangun filsafat dan sains sekuler.

Sains modern tidak lagi menganggap kesakralan alam. Alam dianggap menjadi objek profan yang tak lain adalah objek yang harus dikuasai. Barangkali inilah penyebab utama yang nantinya akan membawa manusia modern kedalam dunia kehampaan yang kering akan prinsipprinsip spiritualitas. Dan memang perkembangan filsafat modern yang materialis telah membawa pada hilangnya realitas transenden, yang sejatinya dalam kacamata filsafat perennial adalah inti dari segala sesuatu.[1]

Melalui tanggapan atas pemikiran dari Rene Descaartes, manusia pada era modern ini mulai mengesampingkan kelestarian alam yang ada dimuka bumi ini. Manusia dengan caranya telah merusak keseimbangan ekosistem yang terjadi dimuka bumi. Atas apa yang telah diperbuat oleh manusia ini, banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Begitu banyak kerusakan yang berhujung pada bencana dimuka bumi ini, entah secara alami maupun buatan manusia sendiri.

Manusia melihat dari segi ekonomi bahwa apa yang disediakan oleh alam dapat memberikan dampak positif bagi kehidupannya. Namun, apakah manusia berpikir dampak dari apa yang mereka perbuat demi kehidupannya?. Materialistis nampaknya telah menutup kesadaran manusia akan apa yang telah mereka perbuat dan apa yang telah terjadi didepan mereka.

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh manusia sudah pada taraf yang sangat menghawatirkan. Manusia tidak lagi segan–segan untuk mengekploitasi alam dan isinya secara besar – besaran, untuk kepentingan dan hidup manusia. Terutama apa yang telah dilakukan oleh manusia demi kepentingan ekonomi di zaman kapitalisme ini. Sebab, menurut evolusi C. Darwin ilmu mempunyai akar dari pengetahuan ekonomi. Orientasi hidup manusia telah dipacu dan dikejar untuk menumpuk – numpuk harta yang banyak.[2]

Manusia yang sebagai pemilik akal budi dapat melakukan berbagai cara sesuka keinginan tanpa harus mempertimbangkan dapak dari apa yang telah dilakukan. Dengan cara yang telah dilakukan, manusia mengubah alam menjadi tempat untuk mencurahkan segala bentuk “refresingnya”. Membuang sampah dengan sembarangan telah menjadi bentuk refresing baru bagi manusia di era saat ini.

Entah sudah berapa banyak kerusakan alam yang terjadi akibat dari ulah manusia. Sampah yang terbuang dengan sesuka hati tanpa melihat tempat yang objektif, hutan – hutan yang menjadi gundul demi kebutuhan manusia, dan asap yang ditimbulkan dari pabrik atau kendaraan telah merubah kemurnian dari oksigen yang disediakan oleh alam, merupakan bentuk dari kecacatan alam yang tak disadari oleh manusia dan menjadi contoh bagaimana manusia tengah menghancurkan dunia. Dengan kata lain, manusia telah membunuh manusia dengan cara yang diciptakannya sendiri.

Akibat pola perilaku manusia yang serakah dan hanya mementingkan diri sendiri, tanpa menghiraukan daya dukung sumberdaaya alam, telah terjadi pula berbagai macam konflik kepentingan. Jelas bahwa persoalan sumberdaya alam memiliki berbagai macam dimensi yang berkaitan erat dengan ekonomi, budaya, politik, dan keamanan.

Dengan demikian, dampak yang terjadi terhadap pelestarian sumberdaya alam seringkali menimbulkan terjadinnya konflik kepentingan. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak diiringi dengan pola pikir akan kelestariannya justru menimbulkan berbagai macam problem yang tak akan ada habisnya dimuka bumi ini.

Dengan perbuatan manusia yang demikian, sesungguhnya manusia telah menciptakan kepunahan bagi tanah airnya sendiri. Bencana yang timbul dari kekurang sadaran manusia dalam melihat kehidupan dimuka bumi ini. Bencana yang sesungguhnya sangat merugikan bagi manusia, terutama dalam bentuk materi yang menjadi hal penting bagi keberlangsungan hidup manusia.

Namun, inilah bentuk dari kekurangan manusia dalam mengolah lingkuan tempat dimana mereka meberlangsungkan kehidupan. Dengan menganggap bahwa manusia dapat melakukan segala sesuatu, manusia menjadi terlena dengan pikirannya sendiri dan membahayakan dirinya sendiri.

Dengan kesadaran yang kurang dari manusia, akan sulit terjadi keseimbangan dalam ekosistem. Bila hal ini tidak mendapat perhatian dengan baik, maka manusia adalah sampah bagi bumi, dimana manusia yang seharusnya menjadi pion dalam menjaga kelestarian alam, justru menghancurkan alam.

Manusia membutuhkan alam dan alam pun membutuhkan manusia keduannya harus saling menjaga keseimbangan diantarannya agar kehidupan dimuka bumi ini tidaklah punah dan tetap lestari selalu.

[1]  https://id. Doi.org/10.15575/jpiu.12199, diakses pada jum’at 20 juni 2021. Pukul 16.00 WITA
[2] Otto Soemarmoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003), hal 51-51

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang

Berita Terkait

Bahaya Perpanjang Masa Jabatan Kepala Desa
Kemerdekaan Pers: Dewan Pers Dilarang Minta Perusahaan Pers Melakukan Pendaftaran!
Sejarah Sumpah Pemuda dan Asa Kita
PERAWATAN DIRI PADA ORANG HIV/AIDS DENGAN KOINFEKSI TB (TUBERCULOSIS)
Analisis Terhadap Diskresi Keputusan Penundaan Pilkades
Kisah Kain Lap dari Celana Dalam Kotor
Menunda Pilkades: Situasional atau By Design?
ANAK SULIT DIATUR, SALAH SIAPA?

Berita Terkait

Rabu, 20 Maret 2024 - 13:36 WITA

IDRIP NTT Gelar Rakor Triwulan I Tahun 2024 Tingkat Provinsi

Jumat, 22 Desember 2023 - 01:30 WITA

Evaluasi Pelaksanaan Program, IDRIP Provinsi NTT Gelar Rakor Triwulan IV

Kamis, 7 Desember 2023 - 13:12 WITA

Dibangun Sejak Tahun 2020 Dengan Anggaran Rp. 173 Miliar, SPAM Kali Dendeng Kupang Diresmikan Presiden Jokowi

Kamis, 7 Desember 2023 - 10:40 WITA

Diresmikan Presiden Jokowi, RS dr. Ben Mboi Kupang Miliki Fasilitas Canggih dan Cukup Lengkap

Kamis, 23 November 2023 - 20:32 WITA

IDRIP Wilayah II NTT Bangun Ketangguhan Masyarakat Melalui Program DESTANA di Manggarai Barat dan Alor

Minggu, 19 November 2023 - 13:13 WITA

Kemenkes Terapkan Inovasi Wolbachia Atasi Penyakit Demam Berdarah

Jumat, 3 November 2023 - 21:07 WITA

Diprediksi Bertahan Hingga Februari 2024, BMKG Ungkap Dampak El Nino

Rabu, 1 November 2023 - 07:19 WITA

IDRIP Provinsi NTT Kembali Gelar Rakor Triwulan III

Berita Terbaru

TTS

Mahasiswa IPS Gelar Survey Pangan di Desa Bikekneno

Jumat, 5 Apr 2024 - 20:46 WITA