MARTEN TUALAKA : INSTRUKSI MENUTUP PASAR TRADISIONAL/MINGGUAN BUKAN KEBIJAKAN POPULIS

Marten Tualaka, SH, M.Si, Ketua DPC Partai HANURA Kab. TTS dan Ketua Komisi IV DPRD TTS

SoE, SALAMTIMOR.COM – Penyebaran COVID-19 di Kabupaten TTS semakin tak terbendung dan mencekam. Ya, jika melihat grafik peningkatan COVID-19 selama kurun waktu Januari 2021 yang meningkat sangat signifikan maka patut untuk diwaspadai ledakannya.

Dengan rincian kasus sampai dengan tanggal 28/01 sebagai berikut: KONTAK ERAT 925 kasus (169 masih dipantau, 756 selesai dipantau); SUSPEK 172 kasus (39 masih dipantau, 131 selesai dipantau dan 2 meninggal dunia); PROBABLE 4 kasus (1 masih dirawat,  0 sembuh dan 3 meninggal dunia);  KONFIRMASI POSITIF 146 kasus (112 masih dirawat, 25 sembuh dan 9 meninggal).

Kondisi diatas memaksa Pemerintah Daerah Kabupaten TTS mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) per tanggal 21 Januari 2021 dan diberlakukan mulai 25 Januari 2021.

Dan pada tanggal 28 Januari 2021, Pemerintah Daerah Kabupaten TTS melalui BAPENDA TTS mengeluarkan pengumuman menutup sementara semua Pasar Tradisional/Pasar Mingguan Desa di seluruh Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan sampai dengan tanggal, 28  Februari 2021.

Kebijakan ini menimbulkan kritik dari Ketua Komisi IV DPRD TTS yang juga Ketua DPC Partai HANURA Kabupaten TTS, Marten Tualaka SH, M.Si.

Menurut Marten saat dihubungi oleh media salamtimor.com menyatakan bahwa, “kebijakan yang diambil oleh PEMDA sebenarnya sudah terlambat karena banyak yang sudah terpapar dan menjadi korban akibat COVID-19. Tapi dari pada tidak sama sekali maka kita dukung kebijakan-kebejikan ini sehingga menekan laju pertumbuhan kasus COVID-19. Akan tetapi kita juga akan terus kritisi agar kebijakan yang diambil benar-benar sesuai harapan dan keinginan bersama yakni memutus mata rantai penyebaran COVID-19 yang saat ini melanda Kabupaten TTS.” Ucapnya.

Lanjut Tualaka, “Kebijakan menutup pasar mingguan dan tradisional bagi saya kebijakan yang tidak populis. perlu dipertimbangkan kembali. Kalau mau tutup, maka pasar Inpres SoE juga harus ditutup. Jangan sampai menutup pasar tradisional di desa-desa kemudian orang dari desa berbondong-bondong ke kota lalu pulang kampung bawa oleh-oleh COVID-19 maka siapa yang perlu disalahkan? Ingat, kebijakan pemerintah turut berkontribusi atas keselamatan dan kesehatan masyarakat. Ini kebijakan yang saya tantang dari dulu. Karena justru angka COVID-19 terbanyak di Kota SoE yakni 45,89% dengan rincian 75 kasus KONTAK ERAT, 29 kasus SUSPEK, 1 kasus PROBABLE, dan 67 kasus TERKONFIRMASI POSITIF hingga hari ini. Data ini menggambarkan bahwa sebenarnya Kota SoE sudah berada pada titik mengkhawatirkan kasus COVID-19 dari 32 kecamatan yang ada di Kabupaten TTS.”

Sambungnya, “Yang mewabah paling banyak saat ini ada di kota. Lalu kota tidak ditutup dan hanya lakukan pembatasan. Pembatasan ini juga tanpa pengawasan yang ketat. Ini terbalik dan miris. Kalau dapat pasar tradisional tetap dibuka 1 minggu 2 kali sehingga kebutuhan masyarakat di kampung tetap terlayani disana dan tidak perlu ke kota yang jelas-jelas zona merah menuju hitam. Yang perlu diperketat adalah protocol kesehatannya, yakni wajib masker, jaga jarak, cuci tangan pada wadah yang disiapkan dekat area pasar. Untuk mengawal itu maka Tim Satgas COVID-19 yang ada di kecamatan dan desa perlu dioptimalkan untuk melakukan pengawasan. Sementara itu pasar Inpres SoE juga harus diperketat. Cukup buka sampai jam 11 siang saja, kalau tujuan kita untuk membatasi penyebaran virus. Kalau tutup pasar tradisional lalu solusinya apa?.” Jelasnya.

Foto: Ketua Komisi IV DPRD Kab. TTS, Ketua DPC Partai HANURA Kab. TTS

Tambah mantan Calon Wakil Bupati TTS periode 2014-2019 ini, “Pengamatan saya saat ini bahwa penanganan COVID-19 di TTS belum optimal. Masih jauh panggang dari api. Pemerintah perlu melakukan persiapan-persiapan yang lebih terperinci dan lebih focus. Itu yang justru tidak dilihat saat ini. Misalnya kalau ada pasien terpapar lalu apa yang harus dibuat oleh keluarga dan apa yang harus dibuat oleh pemerintah. Sementara sekarang ini tenaga kesehatan terbatas, RSUD juga sekarang daya tampung terbatas, pelayanan di beberapa puskesmas juga tidak maksimal akibat ada Nakes yang terpapar. Oleh karena itu maka pemerintah perlu lebih serius mempersiapkan tempat isolasi dan perawatan pasien COVID-19 yang terpisah dari RSUD. Tujuannya agar pelayanan penyakit lain selain COVID-19 tetap optimal. Kalau digabung pasien umum dan pasien khusus COVID-19 disatu tempat yang sama maka potensi penularannya akan semakin tinggi dan tak terbendung. Pemerintah juga perlu menggratiskan biaya swab dan rapid sehingga masyarakat tidak terbeban. Keselamatan masyarakat harus lebih diprioritaskan dimasa-masa sulit saat ini.” Tutupnya. (Tim)

Pos terkait