SoE, SALAMTIMOR.COM – Meninggal dengan status probable (orang yang masih dalam kategori suspek dan memiliki gejala ISPA berat, gagal napas, atau meninggal dunia, namun belum ada hasil pemeriksaan yang memastikan bahwa dirinya positif COVID-19), tentu meninggalkan luka yang amat dalam sekaligus menghadirkan dampak psikologi bagi keluarga juga masyarakat sekitarnya.
Demikian halnya yang dialami oleh keluarga Amarhum Semuel Laoe yang meninggal pada tanggal 26 Januari 2021 sekitar pukul 03.00 Wita di desa Supul Kecamatan Kuatnana dengan status probable COVID-19.
Keluarga almarhum merasa di rugikan dengan dampak penyematan status probable COVID-19 oleh pihak dokter RSUD SoE tanpa di diagnosa atau diperiksa secara lebih teliti dan juga informasi atau pemberitaan dari Tim Gugus Tugas Kabupaten di media on line. Akibatnya, keluarga terkena imbas stigmatisasi dari masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keluarga berasumsi bahwa semestinya dilakukan pemeriksaan PCR barulah menentukan status almarhum. Tidak ada bukti tertulis (hanya lisan yang tidak meyakinkan keluarga) bahwa yang bersangkutan terpapar COVID-19. Sementara almarhum sudah punya riwayat penyakit bawaan.

“Almarhum Semuel Laoe selama beberapa tahun sebelum pandemic sudah mengalami komplikasi penyakit seperti sesak nafas, paru-paru, jantung dan lambung. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah hasil pemeriksaan medis yang dipegang oleh keluarga termasuk tabung oksigen yang dipakai oleh almarhum selama ini yang dibawa saat melakukan tugas rutin sebagai seorang Kepala Sekolah dan aktifitas lainnya”. Ucap Herman Kebu saat ditemui oleh media ini dirumah duka, Kamis, 28/01.
Lanjutnya, “Semuel Laoe sempat di bawah ke RSUD SoE namun tidak mendapatkan perawatan karena pihak keluarga tidak mau menandatangani Surat Pernyataan jika kelak pasien meninggal dunia akan di kuburkan sesuai SOP COVID-19.” Ucap Kebu
Dalam kesempatan yang sama, Laurens Serfas Diran Laoe, anak kandung dari Bapak Semuel Laoe menyampaikan klarifikasi bahwa, “terkait informasi hoax yang beredar kalau ayah saya meninggal akibat COVID-19 sangat tidak berdasar. Tuduhan dari Satuan Gugus COVID-19 dan pihak RSUD SoE tanpa bukti yang jelas. Penyampaian bahwa ayah saya terpapar virus Corona pun, hanya secara Iisan saja. Tidak ada satupun bukti tertulis yang di sampaikan kepada keluarga tentang hasil rapid yang menerangkan kalau ayah saya terpapar COVID-19.” Sesal Diran.
Sambung Diran, “ayah saya sempat di bawah ke RSUD SoE, namun tidak mendapatkan penanganan dan perawatan yang serius terlebih dahulu, justru kami diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan dari pihak RSUD yang intinya menerangkan bahwa penanganan/perawatan terhadap ayah saya dilakukan berdasarkan protocol COVID-19 dan apabila meninggal dunia sebelum hasil pemeriksaan PCR keluar atau belum diketahui, maka ayah saya akan dimakamkan secara protocol COVID-19 dan dimakamkan di pemakaman khusus Oebaki. Ini kami tolak sehingga kami bawa pulang Bapak kembali ke rumah.” Kisah Diran
Lanjutnya, “Yang kami tidak terima tuduhan tersebut karena ayah saya hanya di rapid saja langsung dikatakan COVID. Biasanya seseorang di katakan terpapar COVID jika sudah ada hasil tes PCR. Sedangkan ayah saya tidak pernah dilakukan tes PCR tersebut. Itu yang membuat kami keberatan.”
“Kami sekeluarga juga akan melakukan rapid Antigen dan tes PCR untuk membuktikan bahwa ayah kami meninggal bukan karena terpapar virus Corona.”
“Kami tidak nyaman dengan kondisi ini, karena akibat dari status probable ini, menimbulkan keresahan ditengah keluarga dan masyarakat. Bahkan saat didatangi oleh Tim Gugus Tugas COVID-19 tingkat Kabupaten pada malam tanggal 26/01, sempat terjadi adu argument dan ketegangan karena ketidakpuasan keluarga terhadap informasi atau pemberitaan tentang status ayah saya yang belum meyakinkan terpapar COVID karena belum di swab tes.” Tutup Diran.

Sementara itu, Pdt. Elfis L.Y. Lenamah, S.Th saat ditemui oleh media ini magatakan bahwa, “Saya turut merasa kehilangan salah satu tokoh di jemaat Imanuel Kuatnana. Saya memahami kondisi keluarga saat ini, namun juga mengepresiasi inisiatif keluarga untuk melakukan swab tes agar mengetahui kondisi yang sesungguhnya.”
Lanjutnya, “Kami juga berharap ada tindaklanjut dari Tim Gugus Kabupaten terhadap kondisi ini sehingga tidak terkesan terjadi pembiaran karena ini menyangkut psikologi keluarga, juga psikologi masyarakat sekitar. Apalagi keluarga sudah bersedia di swab, ini niat baik yang perlu didukung. Oleh karena itu, maka sebaiknya Gugus Tugas memfasilitasi agar tidak membiarkan kecemasan ini berkepanjangan dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan bersama.” Ungkapnya.
Ditanya soal apakah dengan kondisi saat ini lalu kebaktian minggu akan dipindahkan ke rumah tangga masing-masing, maka beliau menjawab bahwa akan dilakukan rapat bersama Majelis Harian barulah memutuskan apakah ibadah dilakukan dari rumah atau tetap dilaksanakan di gedung gereja.
Penulis: Inyo Faot