Paras wajahnya bercahaya, senyuman dan tatapannya memberikan rasa damai. Ia tak pernah murung, kepalsuan tak pernah tersirat pada raut wajahnya yang tampan itu.
Sosok wibawa dan gagah itu merupakan jati diri dari seorang romo yang bertugas di stasi kami ini. Pada saat romo itu tiba, aku, Rita dan Meri sedang mempersiapkan diri untuk melayani romo itu di meja altar nanti, untuk perayaan ekaristi hari itu. Dengan wajah ceria dan gembira, romo itu melemparkan senyum manisnya saat menatap wajah-wajah umat di stasi kami. Senyumannya pastilah meluluhkan hati para gadis dan Mungkin saja menimbulkan rasa yang deg-degan dalam hati para gadis yang berada di dekatnya. Sekali lagi romo itu menebarkan senyum manisnya, tetapi kali ini senyumannya ditujukan kepada salah seorang ketua lingkungan dari stasi kami yang sudah lanjut usia dan berpenampilan kurang menawan.
Romo Aldy namanya, akan tetapi umat di stasi kami memanggilnya dengan sapaan Romo Al. Aku sendiri tidak tahu mengapa? Mungkin saja ini hanyalah sebatas analisisku yang berpendapat bahwa ia mirip dengan patung St. Yoseph yang terletak di samping gereja. Patung itu berada tepat searah dengan sebuah menara tua gereja kami. “berjenggot tipis dan berambut hitam gaya mohawknya, hmmm…yaaa…sangat mirip dengan patung itu”, kataku dalam hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sambil menghampiri romo tersebut, aku berkata, Romo kami sudah siap”.
“Ok…,yuk…romo juga akan bersiap-siap”, sambungnya dengan enteng dan penuh keramahan.
Kemudian kami berjalan bersama dan menyusuri sebuah jalan kecil di samping gereja. Jalan kecil itu kebetulan baru dipasang batu batako beberapa hari yang lalu, karena sejak dahulu jalan kecil itu becek dan sangat mengganggu terutama bila kami sedang melakukan perarakan menuju ke dalam gereja.
Aku terheran-heran, saat ia menatapku dengan serius dan sesekali juga ia melihat ke atas seperti sedang berpikir atau Mungkin saja sedang menggali memori masa lalunya.
Tiba-tiba saja ia berkata,” apakah ibumu juga hadir di sini?”
“Yaa romo, ibuku duduk di sebelah kanan tepat di bawah jendela”,jawabku.
“oh”, sahutnya.
Aku tidak tahu mengapa ia menanyakan hal itu kepadaku, seolah-olah ia telah mengenalku. Padahal baru kali ini aku melihatnya bertugas di stasi kami karena keluargaku baru pindah dan tinggal di sini dua tahun lalu. Aku baru pernah mengenal bagaimana terkenalnya dahulu ia di sini, sebab ia pernah bertugas di paroki kami yang sekarang. Selain itu, ia baru tiba di bumi pertiwi ini karena sebelumnya ia berada di pusat spiritualitas imam katolik yaitu vatikan, selama kurang lebih tiga tahun.
Sejak perarakan dimulai sampai selesainya misa, aku selalu bertanya-tanya dalam hatiku. Mengapa demikian? Aku semakin bingung saat aku melihat ibuku yang begitu menunjukkan sikap yang tak biasa. Seolah-olah “sedang terjadi ledakan besar yang tampak lewat gerak-gerik dan ekspresinya”. Perkara inilah yang membuatku ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi bagiku.
“Adik. . .kamu sangat mirip dengan ibumu sewaktu muda dulu”.
Aku terperanjat, heran dan langsung berspekulasi bahwa ia dulunya mengenal ibuku.
“Romo, apakah romo mengenal ibuku?”, tanyaku dengan penuh keraguan.
“Aku mengenal ibumu dan itu sebuah kenangan yang menjadi kisah bagi diri romo sehingga romo dapat berdiri di sini seperti saat ini”, jawabnya. Sedikit demi sedikit tersirat sebuah kesimpulan dalam benakku bahwa ia sangat mengenal ibuku lebih dekat.
Setelah berkata kepadaku, beliau pergi dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berjalan menyusuri sebuah jalan menuju ke tempat parkir. Namun karena arahnya menuju ke depan gereja, maka dengan rasa ingin tahu aku membuntutinya dari belakang. Aku pikir romo itu hendak menjumpai ibuku di halaman depan gereja. Tetapi ternyata aku keliru karena beliau membelok menuju ke tempat parkir dimana terdapat sebuah mobil merk Rocky metallic Classic kepunyaannya yang menjadi top model dari semua kendaraan yang ada di situ. Ia hendak berangkat meninggalkan stasiku tetapi sebelumnya ia melayangkan senyumannya kepada seluruh umat.
Lalu aku bergegas mencari ibuku. Namun tidak kutemukan ibuku di situ. Aku berusaha untuk mencari dan akhirnya aku menemukan ibuku sedang berada di depan patung Bunda Maria. Ternyata ibuku sedang bertelut dan hanyut dalam doa-doanya. Hatiku tersentuh dan kagum saat melihat ibuku. Dengan diam-diam aku berjalan dan bertelut di sampingnya lalu menatap Bunda Maria seraya menunggu ibuku mengakhiri doanya.
Ia berbalik ke arahku dan tersenyum kemudian menggenggam tanganku pertanda bahwa kami akan pulang. Sepanjang perjalanan ibuku tak mengeluarkan sepatah kata pun sampai kami tiba di rumah. Aku bingung atas sikap ibuku yang tidak sedemikian lazim seperti yang ku kenal. Ibuku bergegas menuju lemari dan merogoh sesuatu dalam kantong tas tua kepunyaannya sewaktu muda dulu. Didapatinya sebuah Rosario yang indah nan usang. Ditatapnya Rosario itu kemudian digenggamnya dengan erat lalu meletakkan genggamannya itu pada dadanya.
Dengan saksama kulihat air mata pilu mengucur dari mata ibuku. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada ibuku, aku menjadi sedih dan segera aku langsung berlari memeluk ibuku.
“Bu ada apa dengan ibu?”. Tanyaku penuh iba. Tiba-tiba saja terpancar senyuman dari raut wajahnya.
“Nak. . .ini adalah Rosario pemberian seseorang yang begitu ibu kasihi dulu. Dahulu semasa muda, ibu menjalin kasih dengan seorang pemuda yang menurut ibu, dialah yang kelak dapat menjadi pendamping ibu untuk selamanya. Saat itu kami bahagia sekali bahkan cinta kami menjadi panutan bagi pasangan kekasih yang lain.
Tapi semenjak suatu kejadian memisahkan ibu dengan dirinya yaitu sewaktu ibu hendak pulang kampung. Ibu mendapat kecelakaan tragis sampai tak sadarkan diri. Orang tua ibu berkata bahwa ibu sudah menjelang ajal dan tak ada harapan untuk hidup. Tak disangka-sangka dirinya datang, padahal jarak kota ibu dengan tempat tinggalnya sangat jauh. Dia datang bersama dengan seorang sahabatnya. Kata adik ibu, ia menangis tak hentinya sambil mengucapkan permohonan belas kasih Tuhan agar ibu selamat dari maut. Sepanjang hari itu ia berdoa buat ibu. Sampai pada sore hari dimana ia mengucapkan janji yang begitu mulia dan suci dengan menggenggamkan Rosario ini ke tangan ibu.
Setelah selesai berdoa, sejak itu ia pergi dan menghilang hingga hari ini barulah ibu dapat berjumpa dengannya kembali. Kata nenekmu, ibu tersadar saat ia pergi. Ibu tersadar dengan Rosario ini dalam genggaman ibu. Tadinya ibu berpikir ia akan kembali dan melihat keadaan ibu yang sudah sadar dan terlepas dari ancaman maut. Tetapi tidak ! sepanjang hari selama perawatan, ibu tidak melihat dia. Saat itu, ibu sedih dan hanya Rosario inilah yang menghibur ibu.
Sampai pada akhirnya ibu sembuh total dan karena dipenuhi rasa penasaran, ibu bertanya kepada seluruh keluarga ibu yang pernah melihatnya sewaktu ibu tak sadarkan diri. Adik ibu berkata bahwa ia berdoa dengan khusuk sambil menggenggam tangan ibu dengan eratnya bersama sebuah Rosario. Dan ucapannya yang terakhir setelah segala permohonan demi kesembuhan ibu ia haturkan ialah bahwa ia akan menjadi abdi Tuhan dengan bekerja di ladang-Nya.
Ibu mulai menyadari bahwa ia telah mengambil pilihan yang hampir tidak masuk akal bagi ibu. Setelah sehat total, ibu mencarinya di rumah orang tuanya, orang tuanya berkata bahwa ia telah menentukan pilihannya untuk menjadi seorang imam. Ia tampan, genius dan disukai banyak wanita sezamannya, tetapi mengapa ia memilih jalan hidup semacam itu?
Sekian lama ibu menantinya. Ibu kira ia akan kembali, karena pastilah ia tidak akan sanggup menjalani ritme hidup membiara. Dalam doa, ibu selalu memohon agar ia berbalik kepada ibu. Hmmmm….doa yang tidak baik dan terkesan egois, tapi itu semua ibu lakukan karena begitu cintanya ibu kepadanya. Sampai pada suatu hari ibu berjumpa dengan sahabat yang bersamanya dahulu ketika menjenguk ibu. Temannya itulah ayahmu yang pada akhirnya menjadi pelabuhan cinta ibu.
Air mata ini bukanlah cucuran air mata kesedihan atau luka batin ibu pada masa lalu, melainkan luapan emosi rasa rindu ibu padanya. Pada hari ini, ibu melihatnya dan merasakan cinta itu kembali tetapi tidak seperti cinta sepasang kekasih, melainkan cinta seorang sahabat yang terinfeksi penyakit rindu sedemikian mendalam.
Apalagi tepat pada tanggal 12 Maret inilah ibu sadarkan diri dan terbebas dari maut. Empat belas tahun adalah waktu yang begitu lama dalam penantian moment seperti ini. Goresan abu yang menyilangp ada kening ibu dengan tangan romo tersebut, mendorong ibu pada kepasrahan terhadap dirinya yang sebelumnya tak dapat dipasrahkan. Tak ada yang berubah dengan dirinya, seluruhnya sama seperti yang dulu.
Ia adalah romo Aldy Gonza.
Penulis: Albert Baunsele