Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tekanan dari krisis pangan dan energi sangat parah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan situasi global diprediksi tidak mudah apabila The Fed menaikkan suku bunga acuannya.
Jika dilihat, tingkat inflasi Indonesia bulan lalu menurun ke 4,6% dari yang sebelumnya 4,9%.
“Namun, penyumbang inflasi terbesar adalah komponen volatile foods. Mulai dari gandum hingga minyak goreng yang bisa dilihat terkait dengan situasi geopolitik yang sedang tegang saat ini,” ujarnya dalam Recovery and Resilience: Spotlight on Asean Business secara virtual, Senin (12/9/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sri Mulyani menjelaskan, inflasi inti berdasarkan dari tingkat permintaan masih berada di angka 3%. Jadi, pertanyaannya dari sisi kebijakan, adalah bagaimana caranya merespon inflasi yang utamanya berasal dari disrupsi suplai.
“Tadi pagi dan seperti biasanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbincang dengan banyak gubernur, bupati, hingga wali kota untuk mencapai akar detail dari mana tekanan kenaikan harga ini berasal, khususnya untuk harga pangan yang bisa dicegah,” ungkapnya.
Sementara itu, Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah naik dengan rata-rata 30%. Kebijakan ini akan meringankan beban APBN, tetapi juga akan meningkatkan inflasi administered price atau harga yang diatur pemerintah.
“Kami mencoba memastikan, pertama jika isu ini berasal dari sisi suplai, kami akan menyoroti sisi suplai. Tentu Bank Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk mengatur ekspektasi inflasi, serta stabilitas Rupiah,” kata Sri Mulyani.
“Depresiasi Rupiah saat ini berada sekitar 4,5%, yang sebenarnya terhitung ringan hingga moderat dibandingkan mata uang negara lain,” dia menambahkan.
Menurutnya, angka moderat ini disebabkan oleh neraca pembayaran yang lumayan baik dan surplus neraca perdagangan hingga 27 bulan, sehingga Indonesia lebih resiliance di sisi eksternal.
“Tapi kami juga memahami bahwa situasi global tidak akan menjadi mudah. Ini akan menjadi lebih rumit, terlebih dengan kemungkinan terjadinya kenaikan suku bunga oleh The Fed yang kemungkinan juga akan diikuti oleh resesi, serta harga energi yang kian tidak stabil karena geopolitik,” tuturnya.
“Jadi kami akan lebih berfokus pada detail-detail kebijakan mikro, tetapi kerangka kebijakan makro yang prudent tetap kami jaga,” pungkas Sri Mulyani. (**)