Jakarta – Diperkirakan hingga akhir 2022, dunia akan menghadapi fenomena unik yakni kejadian La Nina selama tiga tahun berturut-turut. Kejadian ini cukup langka dan banyak memberikan sumbangsih terhadap peristiwa bencana hidrometeorologis terutama di wilayah Indonesia.
Banyaknya hujan di musim kemarau atau diistilahkan dengan “kemarau basah” terjadi di berbagai tempat. Kemarau yang biasanya kering disebut basah ditandai dari banyaknya hujan yang turun dengan akumulasi curah di atas normal pada periode musim kemarau. Kemarau pun datang terlambat dan berjalan lebih singkat.
Dari data BMKG, 48% wilayah zona musim (ZOM) terlambat masuk musim kemarau dan 47% wilayah ZOM telah dan akan memasuki musim hujan pada 2022 lebih awal dari normalnya. Bahkan beberapa wilayah tidak merasakan kehadiran kemarau pada tahun ini.
Kemarau basah meningkatkan pertumbuhan hama dan organisme pengganggu tanaman. Musim kemarau yang banyak hujan tentunya memberikan dampak cukup signifikan, terutama pada sektor pertanian.
Tanaman yang selalu subur di musim kemarau seperti palawija tumbuh tidak maksimal karena banyaknya limpahan air, bahkan rusak terdampak banjir lahan pertanian di beberapa tempat akibat curah hujan tinggi.
Fenomena La Nina di Samudera Pasifik sejak pertengahan 2020 hingga 2022 sekarang telah secara nyata menunjukkan dampak peningkatan curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia.
Demikian halnya fenomena dipole mode negatif di Samudera Hindia yang aktif sejak pertengahan 2022 juga turut memberikan limpahan hujan di Sumatra bagian selatan, Pulau Jawa, dan Nusa Tenggara. Kombinasi keduanya memberikan andil cukup besar terhadap kejadian bencana hidrometeorologis basah.
Tak hanya di Indonesia, kejadian banjir di Pakistan dan Australia serta kekeringan di Semenanjung Somalia dan Amerika Selatan bagian selatan dipercaya berkaitan erat dengan kedua fenomena global tersebut.
Efek Balik
BNPB mencatat, selama 2021 pada saat La Nina aktif hampir sepanjang tahun, total bencana yang terjadi sebanyak 5.402 kejadian; sekitar 87%-nya didominasi oleh bencana hidrometeorologis basah, kemudian sekitar 11% merupakan bencana hidrometeorologis kering.
Data ini berlanjut pada 2022; hingga 18 September 2022 telah tercatat sebanyak 2.506 kejadian bencana, 90% merupakan bencana hidrometeorologis basah dan 8% merupakan bencana hidrometeorologis kering.
Bencana hidrometeorologis basah termasuk di dalamnya adalah banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem, sedangkan bencana hidrometeorologis kering yakni kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan.
La Nina diperkirakan baru akan berakhir pada awal 2023. Namun demikian bukan hanya kemungkinan banyak dan besarnya kejadian bencana hidrometeorologis basah saja yang harus kita perhatikan, pun efek balik dari kejadian triple drip La Nina ini wajib diwaspadai.
Kejadian tiga tahun berturut-turut La Nina terjadi terakhir kali pada 2010 sampai dengan 2012. Peristiwa tersebut kemudian diikuti oleh El Nino selama tiga tahun berturut-turut pula yakni pada 2014 hingga 2016.
El Nino yang merupakan kebalikan dari fenomena La Nina juga membawa potensi bencana yang tak kalah hebatnya, yakni bencana hidrometeorologis kering.
Memang kejadian triple drip La Nina yang diikuti El Nino pada tahun-tahun di atas sempat diselingi selama setahun tanpa peristiwa keduanya, yakni pada 2013.
Pemerintah serta masyarakat bisa bersiap-siap jika memang iklim akan kembali netral setidaknya selama setahun dan hanya dipengaruhi secara garis besar oleh angin muson saja.
Namun demikian bukan berarti tidak mungkin pada tahun depan El Nino tiba-tiba muncul, yang lama waktu terjadinya tidak bisa kita perkirakan sekarang.
Perhatian Khusus
Bencana Hidrometeorogis kering akan mengancam ketahanan pangan masyarakat Indonesia secara umum. Kejadian gagal panen, kurangnya air untuk pengairan sawah-ladang, serta yang tak kalah penting adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang akan kembali menghantui dan mengganggu tak hanya kehidupan di dalam, pun di negeri tetangga.
Malaysia dan Singapura akan kembali mengingatkan pemerintah Indonesia untuk lebih tanggap dalam menghadapi potensi bencana ini.
Selain itu kekeringan dapat mengakibatkan malnutrisi yang terjadi karena penurunan ketersediaan pangan dan air serta sanitasi yang higienis. Meningkatnya risiko penyakit menular seperti kolera, diare, dan pneumonia.
Hal lain yang juga tak kalah penting yakni dampaknya pada penghasilan ekonomi masyarakat yang hanya menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perkebunan.
Untuk itulah diperlukan perhatian khusus dari para pemangku kepentingan baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat dalam menghadapi kemungkinan potensi efek balik triple dip La Nina ini karena kekeringan mampu berdampak ke seluruh bidang kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, lingkungan, hingga kesehatan.
Artikel ini tayang di detiknews dengan judul “Potensi Efek Balik “Triple Drip” La Nina” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-6318650/potensi-efek-balik-triple-drip-la-nina.