CERITA SEJARAH/MELAWAN LUPA (EDISI III)
Oleh: David I. Boimau, A.Md
Pada Edisi III ini, cerita menyambung dari edisi I sebelumnya, dimana ketika Moyang Nope dan Isu membawa istri-istrinya dari Nunkolo ke Tunbesi setelah mendapat restu dari Raja Amanatun.
Setibanya di Tunbesi, mereka bertemu dengan orang Portugis yang datang membeli kayu Cendana kepada empat suku yaitu, Nomnafa, Nubatonis, Tenis dan Asbanu. Keempat suku tersebut menjual kayu cendana yang berukuran besar dan merupakan kayu pilihan.
Walaupun membawa Kayu Cendana berukuran besar dan berkualitas, oleh orang Portugis hanya dihargai murah. Hal ini tak lepas dari ketidakmampuan mereka berbahasa Melayu.
Minimnya uang didapat, memaksa keempat suku tersebut untuk berutang lilin 8 kuali dan Cendana 8 pikul pada orang Portugis.
Pada suatu waktu, karena melihat penampilan Nope yang lebih moderen (menggunakan celana, sepatu dan topi), keempat suku tersebut akhirnya mengajak Nope untuk menjual Cendana di Polopnite dekat Tunbesi.
Hingga hari ini, tempat yang bernama Polopnite sendiri belum diketahui secara pasti letaknya. Jika ada yang mengetahuinya bisa disampaikan kepada penulis lewat kolom komentar.
Polopnite sendiri merupakan tempat tinggal saudagar Portugis yang membeli Cendana.
Saat mulai mendekati tempat tersebut, Nope menyuruh keempat suku itu untuk pergi mendahuluinya.
Kala itu, selain menggunakan topi, Nope juga menempatkan mahkota di atas topi yang dikenakannya. Bukti celana, sepatu, topi dan mahkota itu sendiri sampai saat ini masih ada dan disimpan oleh Tamukung Besleu bernama Simaoe Sole.
Saat Nope tiba di rumah saudagar Portugis, ia disambut lebih istimewa karena berpakaian lebih moderen. Hal ini membuat keempat suku itu terheran-heran.
Setelah berjabatan tangan dengan Saudagar, Nope’pun dipersilakan duduk bersama saudagar di atas balai-balai, sedangkan suku lainnya hanya dipersilakan duduk beralas tanah.
Saat transaksi jual beli dilakukan, ternyata kayu Cendana yang dibawa Nope dihargai lebih mahal oleh saudagar tersebut. Padahal, potong cendana yang dibawanya jauh lebih kecil dari yang dibawa keempat suku lainnya.
Potongan kayu Cendana yang dibawa Nope dihargai dengan kain berkodi-kodi, ginggang berkepala-kepala dan ditambah uang.
Melihat hal itu, membuat keempat suku tersebut terkagum-kagum dan mengangkat Nope menjadi raja. Nope sendiri tak menolak saat diminta untuk menjadi raja dari keempat suku itu.
Saat pulang kembali ke rumah, barang-barang Nope diangkat oleh keempat suku itu.
Sesampainya di rumah, oleh keempat suku, Nope tidak lagi diijinkan untuk duduk di tanah. Nope diminta untuk duduk di atas balai-balai.
Keempat suku itu lalu menangkap babi jantan hitam dan membunuhnya. Mereka lalu mendeklarasikan Nope sebagai raja dengan berkata mulai hari ini Nope menjadi Raja yang mengurus penjualan kayu cendana dan lilin di wilayah itu.
Setelah itu mereka menghidangkan makanan di atas balai-balai untuk Nope. Setelah Nope selesai makan, barulah Isu dan keempat suku lainnya makan dengan posisi duduk di bawah tanah. Setelah semua selesai makan, mereka pun bubar dan tidur di rumah masing-masing.
Ketika bangun pagi, Nope memanggil keempat suku tersebut dan menayakan kembali kebenaran kesepakatan mereka mengangkat dirinya sebagai raja. Pasalnya, tidak ada satu bukti’pun yang dipegang Nope kalau dirinya telah diangkat menjadi raja.
Maka keempat suku itu’pun langsung berlutut dan kedua tangan diangkat menutupi mulutnya lalu berkata “Hai ka mi poi ba kof eee pah tuan, paha tuana es ho” atau dalam bahasa Indonesia berarti, “kami tidak tipu sama kamu, kamu tuan tanah”.
Setelah berkata demikian, Nubatonis lalu mengambil satu plat uang perak sebagai bukti dan menyerahkannya kepada Nope. Uang perak tersebut masih disimpan sampai dengan saat ini. Plat uang perak itu diberi nama “Noni Nai Banam”.
Mulai saat itu mereka berjanji untuk mempersembahkan hasil bumi kepada raja yang diistilahkan dalam bahasa Timor “Sut loit mese ho, baf koe mese ho”. Lalu mereka bersumpah dengan membunuh seekor babi merah dan memakannya bersama-sama.
Namun, keempat suku tersebut ternyata hanya membawa persembahan kepada Raja Nope selama 2 tahun berturut-turut. Memasuki tahun ketiga mereka tidak mau lagi dan hanya mempersembahkan kepada Nubatonis.
Raja Nope pun marah dan mengumpulkan suku Nomnafa, Nubatonis, Tenis dan Asbanu lalu membungkus mereka dengan rambut gemute dan membakar mereka sampai mereka lari tercerai-berai.
Orang-orang yang tidak tertangkap lari dan tidak kembali lagi kepada Nope.
Maka Raja Nope mulai membangun kerajaan Amanuban dengan mengatur panglima perangnya, yaitu Sole dan Nome.
Bersambung ke edisi IV,.
(Penulis adalah Anggota DPRD Kabupaten TTS dari Fraksi Partai HANURA)