Oleh: R Graal Taliawo
Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia
FIRE has power to melt metals (api punya kekuatan untuk meleburkan baja). Ada dua kemungkinan: meleburkan untuk mencipta sesuatu yang lebih baik atau meleburkan untuk menghancurkan yang sudah baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Revisi masa jabatan kepala desa (kades) mengarah pada yang kedua. Mengikis demokrasi dan menuntun pada otoritarianisme.
Masa jabatan perlu dibatasi guna mencegah hal-hal korup yang cenderung akan terjadi jika perpanjangan masa jabatan dilakukan.
Usul Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mengenai revisi masa jabatan kades bukan sebatas wacana.
Pada Juni 2023, usul ini mendapat lampu hijau DPR—dari 6 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan menjadi 9 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak dua kali masa jabatan.
Di tengah jabatan kades yang kini di kelilingi kewenangan dan hak pengelolaan ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah dana desa, usulan ini harus dicermati serius.
Di luar nalar
Menarik jika perpanjangan masa jabatan kades dibandingkan dengan kepala negara. Akan terlihat seolah di luar nalar.
Masa jabatan kepala negara yang notabene dengan lingkup tanggung jawab besar (kompleks) saja diatur dan dibatasi: 5 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak dua kali masa jabatan.
Lantas ini, kades dengan lingkup tanggung jawab lebih sempit serta kecil (sederhana), justru masa jabatannya lebih lama.
Tak kalah menggelitik adalah pertimbangan perpanjangan salah satunya karena masa waktu 2 tahun awal jabatan digunakan untuk konsolidasi perangkat desa dan warga.
Maklum, ketegangan dan polarisasi seringkali muncul pasca-pemilihan kepala desa (Pilkades). Sekitar empat puluh persen waktu menjabat akan terbuang untuk itu.
Ini mencerminkan tingkat partisipasi politik kita belum matang, tetapi apakah solusinya memperpanjang masa jabatan?
Bahaya memperpanjang masa jabatan
Perpanjangan masa jabatan ini tentu membahayakan, bahkan bertentangan dengan alam demokrasi kita. Demokrasi memiliki game of rules, salah satunya adalah pembatasan masa jabatan pemerintah.
Kinerja pemerintahan yang dianggap bagus sekali pun tetap perlu dibatasi melalui pemilihan umum yang rutin. Mengapa perlu dibatasi?
Para ilmuwan politik telah memberi peringatan. Mengutip Lord Acton (dalam Crane Brinton, 1919), “Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut (itu) korup seratus persen.”
Dengan masa jabatan yang terlalu lama, (pertama) potensi kades menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) cenderung tinggi.
Jabatan dan kedudukannya bisa dimanfaatkan untuk memonopoli kekuasaan, yang sudah pasti mengutamakan kepentingannya sendiri atau kelompok.
Kedua, sirkulasi atau regenerasi kepemimpinan akan lama. Ini sangat mungkin terjadi karena dengan revisi tersebut akan memperkecil kesempatan untuk lahirnya kades lain yang berkualitas, berinovasi, dan bermutu dalam waktu dekat.
Sebelum revisi, dalam kurun 18 tahun kemungkinan ada 3 atau 2 kades akan muncul. Setelah revisi, dalam kurun waktu yang sama hanya ada 2 atau 1 kades.
Ketiga, bahaya lainnya adalah akan memunculkan kultus individu. Karena masa jabatannya yang lama dan berkuasa, maka akan memunculkan perilaku “raja-raja kecil” serta kelompok pemujanya. Relasi “patron/bos-anak buah” secara alamiah akan terbentuk di level desa.
Sebagai penguasa tunggal di desa, tindak-tanduk kades (yang buruk sekalipun) akan cenderung mendapat dukungan dan simpati oleh kelompok pemujanya. Berlawanan dan berbeda pandangan siap-siap disingkirkan.
Pembentukan kelompok pemuja dan relasi kuasa yang tidak sehat tak terhindarkan, sebab kades sebagai jabatan, memiliki fungsi sebagai sumber daya.
Warga akan cenderung permisif dengan mereka yang dianggap sebagai “sumber hidup”. Relasi saling menguntungkan akan terbangun, meskipun secara demokratis tidak sehat, hanya demi untuk mengamankan kepentingannya masing-masing.
Apabila sudah begini, bahaya keempat tidak akan terelakkan: pemerintahan desa yang otoriter—berkuasa sendiri dan potensi sewenang-wenang. Sikap kritis sangat mungkin dibungkam dalam keadaan seperti ini. Kades yang diktator dan bangunan oligarki di desa pun akan lahir.
Dampak memperpanjang masa jabatan
Dapat kita bayangkan, masa jabatan kades yang lama ini akan memengaruhi jalannya pemerintahan desa ke depan: menjadi sarat politis.
Sebagai pemegang simpul terdekat dengan warga, kades bisa memanfaatkannya untuk bertransaksi dan bargain dengan partai politik dalam momen pemilu. Konkretnya yang sering terjadi adalah mobilisasi warga.
Selain itu, lamanya masa jabatan juga sedikit-banyak akan memengaruhi kinerja pemerintah desa. Perangkat desa potensi tidak bekerja efektif dan efisien. Leha-leha pada program karena beranggapan masih banyak waktu dengan masa jabatan yang lama.
Buang-buang dan main-main/penyalahgunaan anggaran adalah hal yang patut diwaspadai ke depan. Apalagi menjelang pemilu serentak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data yang mengkhawatirkan mengenai korupsi di tingkat desa.
Dilansir dari antikorupsi.org (Januari, 2023) korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindaklanjuti: sepanjang 2015–2021 ada 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Praktik yang berpotensi korup ini akan lebih bahaya jika tanpa pengontrolan ketat dan dibarengi dengan masa jabatan yang lama.
Selain itu, usulan APDESI ini tidak bisa kita simplifikasi. Lantaran, APDESI yang sama juga sebelumnya mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode.
Ada korelasi atau tidak dengan masa politik mendatang, kita perlu waspada untuk itu. Tukar guling dengan berbagai kepentingan bersifat dinamis dalam politik dan sangat mungkin terjadi.
Perpendek/batasi masa jabatan
Berkaca pada itu, mestinya tiga tahun untuk masa jabatan kades lebih dari cukup, atau maksimal lima tahun per periode. Pembatasan masa jabatan kades adalah solusi.
Kades baiknya fokus memaksimalkan kinerja dalam masa jabatan yang terbatas tersebut. Dibanding mengurusi perpanjangan masa jabatan, yang utama diperbincangkan adalah pembenahan dan pengembangan desa: mengoptimalkan dana desa untuk bidang kesehatan, infrastruktur, pendidikan, dan bidang kesejahteraan rakyat lainnya.
Satgas Dana Desa perlu aktif mengawasi dan menjalankan perannya supaya kinerja dan anggaran desa dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Berbarengan dengan itu, pembenahan pada proses Pilkades perlu menjadi perhatian. Kaji ulang mekanisme penyelenggaraan Pilkades.
Selama ini Pilkades pelaksanaannya dikoordinasi oleh Panitia Pemilihan Desa tingkat kabupaten, yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada bupati/kepala daerah.
Celah Bupati dan pemerintah desa untuk intervensi sangat terbuka. Tak heran, banyak kades yang dihasilkan adalah mereka yang berkepentingan dan sejalan dengan kepala daerah.
KPU bisa ditugaskan untuk menyelenggarakan Pilkades, begitu juga Bawaslu untuk mengawasi.
Dengan lembaga independen, akan meminimalisasi celah intervensi dan peluang untuk melahirkan kades yang kredibel lebih terbuka.
Praktik demokrasi bahkan di level desa pun membutuhkan kedewasaan dan kematangan. Kandidat dan warga harus mempraktikkan politik yang jauh dari sentimen, tolak politik transaksional juga identitas.
Membiasakan untuk memilih calon kades yang memiliki agenda kerja jelas dan terukur, mampu bernarasi, dan mampu memanajemen konflik.
Siapa pun yang memenangkan kontestasi, warga harus belajar menerima (legowo) dengan lapang dada dan merapatkan barisan untuk mewujudkan kemajuan desa.
Di sisi lain, kades terpilih tidak menempatkan kelompok berbeda sebagai musuh dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sikap ini diharapkan akan membantu meminimalisasi ekses polarisasi. Hubungan dengan perangkat desa lainnya akan mudah terjalin secara sinkron tanpa waktu lama dan program-program desa juga bisa dilaksanakan.
Sepatutnya perpanjangan masa jabatan kades tak layak diperbincangkan lagi. Peluang demokrasi kita untuk terkikis pun mengecil dengan mencegah pemusatan kekuasaan.
Kades bisa menggunakan kekuatan masa jabatannya yang terbatas itu untuk bersiasat mencipta sesuatu yang lebih baik.
Bukan justru layaknya revisi ini yang mengarah pada kemungkinan kedua: menghancurkan yang sudah baik.